Bisnis Daily, JAKARTA - Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) Mulyanto menilai, efek kerusakan (damage effect) yang timbul akibat kasus korupsi Pertamina itu sudah meruntuhkan kepercayaan publik. Sehingga masyarakat mulai meninggalkan produk Pertamina meskipun harganya dijual lebih murah. Apalagi belakangan, masyarakat berbondong-bondong membeli BBM dari SPBU asing yang kualitasnya dianggap terjamin meskipun harganya lebih mahal.
Saat ini, kata dia, citra Pertamina saat ini berada di titik terendah pasca terungkapnya kasus korupsi yang merugikan negara sebesar Rp193,7 triliun dalam setahun itu.
"Pemerintah harus serius menangani kasus korupsi Pertamina yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp. 193,7 triliun untuk tahun 2023, bukan hanya dari sisi kuratif, yakni mengungkap pelaku korupsi ke akar-akarnya dan menghukum mereka dengan seadil-adilnya, tetapi juga yang utama adalah dari sisi preventif, yakni merombak tata kelola impor migas ke depan, agar semakin transparan dan akuntabel," ujar Mulyanto, Senin (3/3/2025).
Mulyanto minta Pemerintah segera merombak tata kelola migas yang jauh dari intervensi atau kepentingan partai politik.
Menurutnya, sudah menjadi rahasia publik, bahwa selama ini BUMN, menjadi sapi perah bagi partai politik, sehingga pelaksanaan tugasnya banyak disiasati.
Eks Anggota DPR itu menyebut, korupsi di Pertamina seperti kasus lama yang terus berulang, baik dari zaman sebelum Petral, sampai Petral dibubarkan.
Sehingga, lanjut dia, jangan salahkan publik kalau pengungkapan kasus ini dinilai sekedar pergantian "pemain baru". Yang ke depan kasus dan modusnya bisa jadi berulang.
"Kalau memang Pemerintah beritikad baik untuk memperbaiki tata kelola Pertamina ke depan semestinya Pemerintah tidak menempatkan Dirut Pertamina, Komut Pertamina dan pejabat lainnya yang terafiliasi dengan partai politik. Tempatkan orang-orang profesional yang amanah. Sekarang ini kan tidak demikian. Ini membawa aura pesimistis bagi publik," tegas Mulyanto.
Jika dicermati, kasus korupsi Pertamina dimulai dari hulu, dimana para tersangka melakukan pengkondisian untuk menurunkan readiness/produksi kilang. Kemudian, menolak minyak mentah dari produksi domestik karena dianggap tidak memenuhi spek dari sisi harga dan kualitas.
Akibatnya minyak bumi produksi domestik tidak terserap. Lalu, untuk memenuhi kebutuhan minyak mentah maupun BBM dalam negeri, dilakukan impor. Kemudian terjadilah berbagai modus korupsi terkait impor migas tersebut.
"Ini kan korupsi terstruktur dan berjamaah, yang terjadi dalam kurun waktu yang panjang tanpa diketahui aparat, yakni dari 2018-2023," ungkapnya.
"Untuk membangun kepercayaan publik tidak mudah, tanpa itikad baik, kinerja yang unggul dan konsisten," imbuh Mulyanto.