Search

Saved articles

You have not yet added any article to your bookmarks!

Browse articles

Jadikan TKDN sebagai Alat Tawar, Ekonom Sebut Kekeliruan Strategis yang Fundamental

09 April 2025


Bisnis Daily, JAKARTA - Ekonom dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menilai, wacana melonggarkan kuota impor dan fleksibilitas aturan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) memicu keresahan luas khususnya pelaku usaha domestik.

Menurutnya, gagasan tersebut, terutama jika dihadapkan pada tekanan eksternal seperti ancaman tarif dari mitra dagang besar layaknya Amerika Serikat di bawah kepemimpinan yang proteksionis, berpotensi menjadi langkah blunder yang mengorbankan fondasi industri nasional dan keberlangsungan usaha mikro, kecil dan menengah di Indonesia.

"Kebijakan TKDN bukanlah sekadar angka persentase dalam dokumen. Kebijakan tersebut adalah instrumen vital untuk membangun kedaulatan ekonomi, melindungi pasar domestik, dan memberdayakan pelaku usaha lokal," kata Achmad dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu (9/4/2025).

Menggunakannya sebagai alat tukar dalam negosiasi adalah sebuah kekeliruan strategis yang fundamental, sambung dia.

Tidak hanya itu, Achmad yang juga Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta ini mengatakan, melonggarkan keran impor secara masif dan membuat aturan TKDN menjadi lebih fleksibel akan mengirimkan gelombang kejut negatif ke seluruh struktur perekonomian nasional.

"Dampak paling langsung adalah tergerusnya pangsa pasar produk dalam negeri," ungkapnya.

Industri manufaktur, elektronik, otomotif, tekstil, hingga sektor agroindustri yang selama ini berusaha tumbuh di bawah payung proteksi TKDN, lanjut Achmad, akan menghadapi persaingan yang tidak seimbang dengan produk impor yang seringkali unggul dalam skala produksi dan efisiensi harga karena subsidi atau praktik ekonomi negara asalnya.

Bagi pelaku bisnis lokal terutama UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi kerakyatan, kata dia, dampak ini akan jauh lebih destruktif.

"UMKM seringkali beroperasi dengan modal terbatas, kapasitas produksi yang lebih kecil, dan akses teknologi yang belum sepadan dengan korporasi multinasional atau produsen besar dari luar negeri," jelas Achmad.

Selain itu, terkait aturan TKDN, meskipun terkadang dianggap sebagai tantangan, sejatinya memberikan celah bagi mereka untuk terlibat dalam rantai pasok industri yang lebih besar, terutama dalam proyek-proyek pemerintah atau BUMN yang mewajibkan persentase komponen lokal tertentu.

"Menghilangkan atau melunakkan syarat ini sama saja dengan mencabut jaring pengaman terakhir bagi mereka, membiarkan mereka tenggelam dalam arus deras produk impor murah," kesalnya.

Achmad juga meminta pemerintah bertanggung jawab untuk memproteksi industri lokal menjadi semakin besar, jika terpaksa atau memilih untuk melonggarkan kuota impor dan fleksibilitas TKDN.

Dia juga mengingatkan pemerintah untuk melakukan beberapa langkah mitigasi, seperti: penguatan standar dan sertifikasi, engaktifkan dan memperkuat mekanisme anti-dumping, anti-subsidi, dan safeguard untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik perdagangan tidak adil.

"Memberikan insentif yang lebih besar bagi industri lokal yang berorientasi ekspor atau yang mampu bersaing di pasar domestik, misalnya melalui kemudahan pajak, akses pembiayaan murah, mengintensifkan program pelatihan, pendampingan, dan fasilitasi akses teknologi bagi UMKM agar lebih cepat meningkatkan daya saingnya," katanya.

Termasuk memastikan komitmen belanja pemerintah dan BUMN tetap memprioritaskan produk dalam negeri, meskipun aturan TKDN formal dilonggarkan, melalui kebijakan pengadaan yang afirmatif, imbuh Achmad Nur Hidayat.

 

Prev Article
Rupiah Ditutup di Level Rp16.872 per Dolar AS, IHSG Anjlok
Next Article
The Rise of AI-Powered Personal Assistants: How They Manage

Related to this topic: