Search

Saved articles

You have not yet added any article to your bookmarks!

Browse articles

Proyeksi IMF Pertumbuhan Ekonomi di 4,9 Persen, Achmad: Prediksi Saya Hanya 4,2 Persen

24 April 2025

 

Bisnis Daily, JAKARTA - Prediksi Dana Moneter Internasional (IMF) soal turunnya perekonomian Indonesia tidak mengejutkan bagi kalangan ekonom, salah satunya Achmad Nur Hidayat.

Ekonom dari UPN Veteran Jakarta itu bahkan telah memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2025 berisiko jatuh ke angka 4,2 persen, jika tim ekonomi tidak cukup adaptif terhadap perubahan geopolitik global.

Menurut Achmad yang juga pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta ini, penurunan proyeksi IMF hanya menegaskan kekhawatiran yang telah lebih dahulu ia suarakan.

"Bahwa ramuan kebijakan ekonomi Indonesia saat ini tidak cukup meyakinkan untuk membawa ekonomi nasional tumbuh di atas 5 persen," katanya dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (24/4/2025).

"Proyeksi yang lebih jujur dan kritis menurut kami, menempatkan pertumbuhan Indonesia hanya di kisaran 4,2 persen hingga 4,5 persen, bahkan berpotensi lebih rendah apabila respon kebijakan tetap pasif," sambung Achmad.

Sebelumnya, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen dalam APBN 2025. Sementara World Bank memperkirakan 5,1 persen dan OECD di angka 4,9 persen.

Achmad juga meminta pemerintah dan Bank Indonesia untuk tidak terlalu percaya diri. Apalagi di berbagai pernyataan resmi, target pertumbuhan ekonomi tetap diklaim realistis di atas 5 persen.

Sedangkan kenyataannya, kata dia, menunjukkan tren yang berbeda. Ekonomi Indonesia terus menurun secara struktural.

"Ketergantungan terhadap harga komoditas, lemahnya permintaan domestik, dan lambatnya diversifikasi industri menjadi bukti narasi optimisme tidak cukup untuk menopang kinerja ekonomi," katanya.

Di sisi lain, suku bunga tinggi yang diterapkan pemerintah untuk menahan arus keluar modal (capital flight) juga tidak cukup berhasil.

Belum lagi nilai tukar rupiah terus melemah ke atas Rp 17.000 per dolar Amerika, terkoreksinya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), dan investasi asing yang mulai stagnan.

"Sektor riil kita juga menghadapi kesulitan besar dalam mengakses kredit karena biaya pinjaman yang tinggi. Bank lebih memilih menempatkan dananya dalam Surat Berharga Negara (SBN) karena lebih aman ketimbang menyalurkan kredit ke sektor produktif," pungkas Achmad Nur Hidayat.

Prev Article
Transjabodetabek Beroperasi, MTI: Pentingnya Master Plan Transportasi untuk Integrasi dan Keberlanjutan
Next Article
The Rise of AI-Powered Personal Assistants: How They Manage

Related to this topic: