PONTIANAK, bisnisdaily.com - Sektor perbankan tanah air lagi-lagi jadi sorotan publik. Bukan karena bank besar atau saham yang naik turun, tapi karena fenomena penutupan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang jumlahnya makin banyak.
Bayangin aja, sejak awal 2024 sampai pertengahan Agustus 2025, sudah ada 23 bahkan 24 BPR/BPRS yang harus angkat bendera putih setelah izinnya dicabut Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Bagi sebagian orang, kabar ini terdengar mengkhawatirkan. Wajar, karena BPR sering jadi pilihan masyarakat kecil di daerah untuk menabung atau mengajukan kredit. Tapi, di balik berita yang terkesan “seram” ini, ada cerita penting tentang bagaimana industri keuangan mikro sedang dipaksa berbenah.
Kenapa Banyak BPR Berguguran?
Kalau ditarik ke belakang, BPR sebenarnya punya peran vital di Indonesia. Mereka hadir di kota kecil bahkan pelosok desa untuk memberi akses layanan keuangan ke masyarakat yang nggak terjangkau bank umum. Sayangnya, banyak BPR yang gagal menjaga kesehatan usahanya.
OJK mengungkapkan bahwa mayoritas BPR yang ditutup bermasalah dalam hal tata kelola. Ada yang terlibat fraud alias penyalahgunaan dana, ada juga yang nggak mampu memenuhi rasio kesehatan perbankan. Ibaratnya, “penyakit dalam” di tubuh BPR ini akhirnya bikin mereka kolaps.
Regulator pun nggak bisa tinggal diam. Daripada membiarkan bank yang sakit makin parah dan membahayakan nasabah, langkah tegas berupa pencabutan izin usaha jadi pilihan terakhir.
Bagaimana Nasib Nasabah BPR yang Tutup?
Pertanyaan yang paling sering muncul adalah: “Kalau banknya tutup, gimana nasib tabungan saya?”
Jawabannya: aman, selama sesuai ketentuan. Soalnya, ada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang siap turun tangan. LPS menjamin simpanan masyarakat sampai batas tertentu, dengan syarat bunga simpanan dan saldo sesuai aturan yang berlaku.
Proses klaim memang butuh waktu, biasanya maksimal 90 hari kerja sejak bank resmi ditutup. Tapi, masyarakat nggak perlu panik. Selama tercatat sesuai kriteria LPS, dana pasti kembali.
Tantangan Industri BPR di Era Digital
Kalau kita lihat lebih luas, fenomena 23–24 BPR tutup ini sebenarnya cerminan bahwa industri keuangan mikro sedang tertekan. Persaingan makin ketat, apalagi dengan hadirnya fintech lending dan dompet digital yang lebih praktis serta agresif menyasar masyarakat.
BPR yang nggak bisa beradaptasi dengan teknologi dan memperkuat tata kelola akhirnya ketinggalan. Ditambah lagi, skala usaha yang kecil bikin mereka rentan terhadap guncangan.
OJK sendiri sudah menegaskan strategi ke depan: dorong konsolidasi dan merger antar BPR supaya lebih kuat, efisien, dan kompetitif. Harapannya, jumlah BPR memang berkurang, tapi kualitasnya lebih baik dan bisa bertahan dalam jangka panjang.
Pelajaran Buat Masyarakat
Buat kita sebagai nasabah, kasus ini jadi pengingat penting. Jangan asal taruh uang di lembaga keuangan tanpa cek legalitasnya. Pastikan bank pilihanmu:
- Terdaftar dan diawasi OJK.
- Masuk dalam penjaminan LPS.
- Punya rekam jejak yang sehat.
Dengan begitu, risiko bisa lebih terkontrol, meski tetap ada kemungkinan lembaga kecil bermasalah.
Penutup: Alarm untuk Berbenah
Penutupan 23–24 BPR sepanjang 2024–2025 ini jelas jadi alarm peringatan. Bahwa sektor perbankan, terutama di level mikro, butuh reformasi serius. Di sisi lain, langkah tegas OJK justru bikin industri lebih bersih, transparan, dan sehat.
Masyarakat nggak perlu panik berlebihan, karena sistem perlindungan lewat LPS tetap berjalan. Yang terpenting, fenomena ini bisa jadi momentum untuk memperkuat literasi keuangan masyarakat dan mendorong BPR lain supaya makin adaptif di era digital.
Industri boleh panas, tapi kalau langkah perbaikan konsisten, bukan nggak mungkin BPR justru bisa bangkit dengan wajah baru yang lebih profesional dan dipercaya publik. (*)