Bisnis Daily, PONTIANAK - Nama Mixue sempat jadi bahan omongan di mana-mana. Maskot salju imut, harga es krim Rp8 ribuan, dan cabang yang muncul di tiap sudut kota bikin brand asal Tiongkok ini jadi ikon baru di dunia kuliner Indonesia.
Tapi setelah euforianya mereda, muncul satu pertanyaan besar: apa yang bisa kita pelajari dari perjalanan bisnis Mixue yang luar biasa cepat ini?
Dari Gerobak ke Ribuan Gerai
Mixue bukan sekadar merek es krim biasa. Didirikan sejak 1997 oleh Zhang Hongchao di Zhengzhou, Tiongkok, bisnis ini awalnya hanya bermodal kecil dari sang nenek. Dengan strategi harga murah, branding manis, dan sistem franchise agresif, Mixue kini punya lebih dari 20.000 gerai di seluruh dunia, termasuk ribuan di Indonesia.
Namun di balik kisah suksesnya, ada sisi lain: ekspansi besar-besaran yang mulai memunculkan tanda-tanda kelelahan. Beberapa outlet di Indonesia dikabarkan mulai sepi, sementara para mitra franchise mulai mengeluhkan biaya tinggi dan laba yang makin tipis.
1. Viral Itu Bonus, Bukan Segalanya
Mixue membuktikan bahwa viral marketing bisa bikin bisnis melejit dalam waktu singkat. Tapi setelah hype reda, pelanggan butuh alasan lebih untuk kembali — bukan sekadar ikut tren.
“Viral penting buat mulai, tapi keberlanjutan ditentukan oleh rasa, pelayanan, dan inovasi,” ujar seorang pengamat bisnis kuliner dari Bandung.
2. Ekspansi Cepat = Risiko Tabrakan
Di banyak kota besar, gerai Mixue bisa berdiri hanya berjarak 200 meter. Strategi ini bikin brand makin dikenal, tapi juga berisiko. Satu toko bisa memakan pasar toko lain — istilahnya cannibalization.
Pelajarannya? Tumbuh cepat itu keren, tapi harus tetap terencana. Tanpa manajemen wilayah yang matang, ekspansi bisa berbalik arah.
3. Franchise Itu Bukan Jalan Instan ke Sukses
Sistem waralaba Mixue memang populer, tapi tak sedikit mitra yang merasa keuntungan tidak sebanding dengan biaya dan kewajiban dari pusat.
Mereka wajib beli bahan baku dari distributor resmi dan mengikuti standar desain toko yang ketat.
Artinya, transparansi dan komunikasi antara pusat dan mitra jadi kunci agar tidak timbul gesekan di lapangan.
4. Harga Murah, Margin Tipis
Harga murah memang menarik pelanggan, tapi di sisi lain bikin margin keuntungan jadi minim. Ketika biaya bahan naik sedikit saja, keuntungan bisa langsung tergerus.
5. Inovasi dan Adaptasi Menentukan Umur Panjang
Beberapa tahun setelah viral, muncul komentar bahwa rasa Mixue mulai “biasa aja”. Ini jadi sinyal penting: pelanggan butuh variasi.
Brand besar seperti Mixue perlu terus berinovasi — baik dari menu, konsep promosi, maupun tampilan toko — agar tetap relevan di tengah pasar yang cepat berubah.
6. Keseimbangan antara Konsistensi dan Evolusi
Mixue berhasil membangun identitas visual yang kuat — warna biru muda, logo salju, dan maskot menggemaskan. Tapi di era digital yang serba cepat, brand juga harus fleksibel beradaptasi tanpa kehilangan karakter utamanya.
7. Dari Viral ke Vital
Kesuksesan Mixue mengingatkan kita bahwa viral itu pintu masuk, bukan jaminan hidup panjang. Yang membuat bisnis benar-benar “vital” adalah manajemen yang solid, produk berkualitas, dan inovasi berkelanjutan.
Mixue tetap jadi salah satu fenomena bisnis terbesar di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Tapi di balik senyum maskot salju yang lucu itu, ada realita keras dunia bisnis: mempertahankan kesuksesan jauh lebih sulit daripada mencapainya.
Bagi pelaku usaha lokal, kisah Mixue bisa jadi cermin berharga, bahwa untuk tetap manis di pasar, kamu harus terus belajar, berinovasi, dan menyiapkan strategi jauh setelah viral berakhir. (*)