Bisnis Daily, JAKARTA - Pengamat transportasi Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno menyatakan, maraknya travel gelap menandakan bentuk kegagalan pemerintah menyediakan angkutan umum ke pelosok negeri.
Menurutnya, travel gelap bukanlah inovasi, melainkan kebutuhan masyarakat akan perjalanan untuk mencari nafkah yang tidak dipenuhi pemerintah.
Pasal 138 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyatakan, pemerintah wajib menyediakan angkutan umum yang selamat, aman, nyaman dan terjangkau. Dalam Undang-Undang itu juga disebutkan, pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraan angkutan umum orang dan/atau barang hanya dilakukan dengan kendaraan bermotor umum.
Djoko yang juga Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat mengatakan, maraknya travel gelap merupakan kebutuhan perjalanan yang tidak dapat diakomodir layanan angkutan umum resmi atau legal.
"Sebagian masyarakat yang beraktivitas di Kawasan Jabodetabek yang berasal dari pedesaan banyak yang memanfaatkannya. Angkutan pedesaan sudah hilang, sementara kebutuhan mobilitas warga di pedesaan meningkat," katanya dalam keterangan persnya di Jakarta, Senin (24/3/2025).
Sebagian besar travel gelap ini untuk penumpang yang berasal dari Jawa Tengah. Mulai dari Kabupaten Brebes, Banyumas, Grobogan, Tegal, Wonosobo, Batang, Pekalongan, Pemalang dan Banjarnegara. Sementara untuk penumpang dari Jawa Barat, travel gelap mengantar penumpang ke Kabupaten Banjar, Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Kuningan, Cirebon, Majalaya. Sumedang dan Subang.
Nantinya, penumpang dijemput sesuai dengan titik lokasi yang dibagikan kepada agen dengan jam keberangkatan pukul 16.00 WIB – 19.00 WIB.
Djoko melanjutkan, maraknya bisnis travel gelap membuat resah kalangan pengusaha angkutan umum resmi, apalagi di satu sisi, angkutan umum resmi diminta taat regulasi, sementara di sisi lain ada angkutan umum yang tidak taat regulasi dan makin marak beroperasi tanpa ada upaya tindakan tegas dari pemerintah untuk memberantasnya.
"Bisnis travel gelap beroperasi sudah sejak lama dan jumlahnya sudah ratusan armada setiap hari yang masuk Jabodetabek," jelasnya.
Tidak hanya itu, keberadaan travel gelap juga mengganggu dan merugikan operasional angkutan umum resmi, seperti Bus AKAP, Bus AKDP dan AJAP, karena operator angkutan umum resmi harus mentaati aturan, seperti harus mengurus perijinan, wajib kir 6 bulan sekali, membayar pajak setiap tahun, membayar asuransi.
"Untuk jangka panjang, harus dilakukan penataan angkutan umum secara menyeluruh mengingat begitu cepatnya perkembangan teknologi dan sistem informasi yang dapat memudahkan orang mendapatkan layanan angkutan umum dengan cepat dan efisien," imbuh Djoko Setijowarno.