PONTIANAK, bisnisdaily.com – Beberapa minggu terakhir, jalanan di sejumlah kota besar Indonesia ramai oleh aksi demo. Suara rakyat menggema lewat spanduk, pengeras suara, hingga orasi yang membakar semangat.
Demo jadi ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi, tapi di sisi lain, dunia bisnis ikut merasakan imbas langsung maupun tidak langsung.
Bagi sektor ritel modern dan UMKM, aksi demo kerap berarti turunnya omzet. Pusat perbelanjaan, kafe, hingga minimarket yang berada di sekitar titik keramaian terpaksa menutup lebih cepat.
Bukan karena tidak ingin melayani pelanggan, tapi demi menghindari risiko keamanan. Konsumen pun cenderung menunda belanja karena akses jalan macet parah.
Transportasi online juga tidak kalah terdampak. Banyak driver mengeluh orderan susah diambil karena jalur ditutup atau dialihkan. Bagi masyarakat yang bergantung pada ojol untuk mobilitas, kondisi ini jelas bikin serba repot.
“Kalau ada demo besar, pendapatan bisa turun separuh. Kadang harus muter jauh untuk ambil penumpang,” kata Bayu, seorang pengemudi ojol di Jakarta Pusat.
Namun di balik itu, ada juga bisnis yang justru kecipratan rezeki. Pedagang makanan ringan, minuman kemasan, hingga penjual kopi keliling laris manis di area demo.
Atribut demo seperti kaos, spanduk, masker, sampai peluit pun jadi barang dagangan yang dicari banyak orang. Artinya, demo memang menciptakan dinamika tersendiri di roda ekonomi.
Ekonom Rendy Saputra menilai, demo tidak bisa dipandang hanya sebagai penghambat bisnis. “Demo adalah bagian dari demokrasi. Justru di sini terlihat bagaimana pelaku usaha harus adaptif. Ada yang memilih mengurangi risiko dengan tutup lebih cepat, ada juga yang memanfaatkan peluang dengan menjual kebutuhan demo,” jelasnya.
Dampak Demo di Masa Lalu
Sejarah mencatat, demo besar selalu punya efek ke bisnis. Misalnya, demo besar mahasiswa tahun 1998 yang berujung pada reformasi. Kala itu, aktivitas perdagangan di Jakarta lumpuh berhari-hari, banyak toko tutup, dan investor asing memilih menunggu situasi stabil.
Tahun 2019, demo menolak RUU KUHP dan UU KPK juga sempat membuat kawasan bisnis di Jakarta Pusat lengang. Pusat perbelanjaan Tanah Abang misalnya, mengalami penurunan pengunjung hingga 30 persen saat demo berlangsung.
Tidak jauh berbeda, demo buruh yang rutin terjadi tiap 1 Mei juga selalu bikin jalanan macet dan bisnis transportasi online kena dampaknya.
Dari sisi pasar modal, demo besar kerap memberi sentimen negatif jangka pendek. Investor biasanya menahan transaksi sampai kondisi dianggap aman. Saham-saham sektor konsumsi dan perbankan sering jadi yang paling tertekan saat tensi demo memuncak.
Bisnis Harus Lincah
Ke depan, hubungan demo dan bisnis sepertinya akan terus berjalan beriringan. Aksi turun ke jalan tetap jadi ruang sah rakyat untuk menyampaikan aspirasi, sementara dunia usaha ditantang untuk lebih lincah membaca situasi. Ada kalanya rugi, tapi ada juga peluang yang bisa ditangkap.
Yang jelas, baik demo maupun bisnis sama-sama punya peran penting: demo menjaga suara rakyat, dan bisnis menjaga perputaran ekonomi.(*)