Bisnis Daily, PONTIANAK - Pertumbuhan ekonomi China menunjukkan tanda perlambatan seiring melemahnya konsumsi domestik. Data terbaru mencatat, penjualan ritel China hanya tumbuh tipis dan menjadi yang terlemah sejak masa pandemi Covid-19, memicu kekhawatiran terhadap prospek ekonomi global dan permintaan komoditas dunia.
Berdasarkan data resmi otoritas statistik China, penjualan ritel pada periode terbaru hanya mencatat pertumbuhan sekitar 1–2 persen secara tahunan, jauh di bawah ekspektasi pasar. Capaian ini menjadi sinyal bahwa pemulihan konsumsi masyarakat belum berjalan kuat, meski pembatasan aktivitas telah lama dicabut.
Pelemahan konsumsi ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor, mulai dari turunnya kepercayaan konsumen, tekanan di sektor properti, hingga kehati-hatian rumah tangga dalam membelanjakan uangnya. Kondisi tersebut membuat belanja barang tahan lama seperti properti, kendaraan, dan produk bernilai tinggi ikut melambat.
Perlambatan penjualan ritel turut menekan kinerja ekonomi China secara keseluruhan. Padahal, konsumsi domestik selama ini diharapkan menjadi motor utama pertumbuhan di tengah melemahnya permintaan eksternal dan ketegangan perdagangan global.
Dampaknya tidak hanya dirasakan di dalam negeri. Sebagai salah satu ekonomi terbesar dunia, perlambatan China berpotensi menekan permintaan global, khususnya terhadap komoditas seperti minyak, batu bara, bijih besi, dan logam industri. Negara-negara pengekspor komoditas, termasuk Indonesia, berisiko terdampak jika tren pelemahan berlanjut.
Selain itu, data ekonomi yang melemah dari China juga memicu sikap hati-hati investor global. Pasar keuangan cenderung berfluktuasi, sementara mata uang dan saham di negara berkembang berpotensi menghadapi tekanan akibat sentimen negatif tersebut.
Pemerintah China hingga kini terus berupaya menjaga pertumbuhan ekonomi melalui berbagai stimulus, namun pelaku pasar menilai dorongan kebijakan tambahan masih diperlukan, terutama untuk mengangkat konsumsi rumah tangga dan menstabilkan sektor properti. (*)