Search

Saved articles

You have not yet added any article to your bookmarks!

Browse articles

Renungan di Balik Angka Ajaib 5,12%: Krisis Kredibilitas Statistik Nasional BPS Kita?

06 August 2025

Bisnis Daily, JAKARTA - Ekonom, Achmad Nur Hidayat mengungkapkan, rilis angka pertumbuhan PDB sebesar 5,12% oleh Badan Pusat Statistik pada akhirnya tidak membawa optimisme, melainkan justru menjelma menjadi sumber kecurigaan massal. Sebelumnya, BPS mengumumkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Kuartal II 2025 mencapai 5,12%.

Sebuah capaian yang di atas kertas, tampak gemilang. Namun, angka ini, ungkap Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta itu, tidak disambut dengan tepuk tangan, melainkan dengan kening yang berkerut. Mengapa? Karena angka tersebut berdiri sendirian, menantang konsensus suram yang telah disuarakan oleh hampir seluruh lembaga kredibel, dari IMF dan Bank Dunia yang memproyeksikan di kisaran 4,7-4,8%, hingga para ekonom domestik yang melihat langsung lesunya denyut nadi perekonomian.

Untuk memberikan konteks yang lebih tajam, mari perinci jurang antara prediksi dan realita tersebut.

Dana Moneter Internasional (IMF), dalam laporan World Economic Outlook Update edisi Juli 2025, memproyeksikan angka 4,8%. Senada dengan itu, Bank Dunia melalui Global Economic Prospects edisi Juni 2025 bahkan memberikan estimasi yang lebih konservatif di angka 4,7%. 

Dari dalam negeri, Bank Indonesia memberikan rentang proyeksi antara 4,7% hingga 5,1%, di mana angka realisasi BPS justru melampaui batas atas skenario paling optimis sekalipun. Pemerintah sendiri, melalui Kementerian Keuangan, menargetkan pertumbuhan di kisaran 5,0% dalam asumsi APBN.

Sementara itu, lembaga riset independen seperti INDEF dan LPEM FEB UI juga memberikan proyeksi yang jauh di bawah realisasi, masing-masing di angka 4,8% dan 4,95%.

Konsensus yang solid ini menunjukkan para analis, baik global maupun domestik, melihat sinyal pelemahan yang nyata, sebuah sinyal yang tampaknya diabaikan oleh angka tunggal BPS. Kesenjangan yang menganga ini lebih dari sekadar selisih statistik dan sebuah anomali yang mempertanyakan fondasi paling dasar dari cara kita memahami negara ini: data.

Baca juga: Ekonomi Indonesia Kuartal II 2025 Tumbuh 5,12 Persen

Narasi resmi BPS yang coba dibangun—bahwa sebuah "tsunami fiskal" dari belanja pemerintah mampu menjadi penyelamat tunggal—terdengar simplistis dan tidak memadai. Skala perbedaannya terlalu besar untuk dijelaskan hanya oleh satu faktor, seberapapun masifnya faktor tersebut.

Pertanyaan fundamental yang kini menggantung di benak publik adalah: Benarkah daya ungkit belanja pemerintah sedahsyat itu hingga mampu meniadakan dampak gabungan dari lesunya konsumsi, mandeknya investasi swasta, dan anjloknya ekspor?

Kecurigaan yang beralasan ini secara sah membuka kembali kotak pandora yang selama ini coba ditutup rapat: kemungkinan adanya kelemahan fundamental dalam metodologi BPS, baik yang terjadi karena ketidaksengajaan maupun kesengajaan. Angka 5,12% ini bukan lagi sekadar data, ia adalah sebuah potensi krisis kepercayaan.

Analogi Papan Dasbor Ekonomi yang Retak

Bayangkan ekonomi Indonesia sebagai sebuah mobil yang sedang dikendarai bersama. Selama berbulan-bulan, seluruh penumpangnya—para pengusaha, pekerja, ibu rumah tangga—merasakan mobil ini melambat. Para mekanik ahli (ekonom dan lembaga riset) telah memeriksa dan memberikan diagnosis yang seragam. Lampu indikator bahan bakar ekspor menyala merah.

Mesin manufaktur terdengar batuk-batuk, tecermin dari data PMI yang lesu.

Para penumpang di kursi belakang (masyarakat) mulai resah karena guncangan di jalan (inflasi pangan) terasa semakin keras menggerus isi kantong. Semua sepakat, mobil ini butuh perhatian serius karena kecepatannya menurun. Lalu, tiba-tiba sang pengemudi (pemerintah), sambil menunjuk papan dasbor, dengan bangga mengumumkan bahwa kecepatan mobil justru meningkat pesat hingga 120 km/jam.

Tentu saja semua orang terkejut dan bingung. Angka di speedometer—data BPS—sama sekali tidak cocok dengan apa yang dirasakan dan dilihat semua orang. Seketika, fokus tidak lagi pada cara mengemudi, tetapi pada validitas speedometer itu sendiri.

Di sinilah pertanyaan krusial muncul. Apakah speedometer ini rusak karena sudah tua, berdebu, dan tidak pernah dikalibrasi ulang untuk mengukur kecepatan di era digital (kelemahan metodologis)?

Ia mungkin tidak bisa membaca putaran roda dari ekonomi informal dan digital secara akurat. Atau, yang lebih mengkhawatirkan, adakah tangan tak terlihat yang sengaja mengutak-atik jarumnya agar sang pengemudi terlihat hebat di mata penumpang (manipulasi data)? Ketika alat ukur utama diragukan, maka seluruh perjalanan menjadi penuh ketidakpastian.

Dua Sisi Mata Uang Keraguan: Inkompetensi atau Intervensi?

Keraguan publik terhadap anomali data ini mengerucut pada dua kemungkinan yang sama-sama meresahkan, yang harus dibedah dengan nalar kritis.

Opsi pertama adalah kemungkinan adanya inkompetensi dan kesalahan metodologis yang tidak disengaja. 

“Kita harus berani bertanya, apakah metodologi BPS, yang mungkin dirancang untuk struktur ekonomi beberapa dekade lalu, masih relevan?,” katanya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu (6/8/2025).

Ekonomi telah bertransformasi secara drastis. Bagaimana BPS menangkap nilai tambah dari jutaan pelaku ekonomi digital, gig workers, atau transaksi e-commerce lintas batas yang tidak tercatat dalam survei konvensional?

Bisa jadi, kerangka survei dan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang ada saat ini memiliki kelemahan inheren. Ia mungkin memberikan bobot yang berlebihan (over-represent) pada sektor-sektor yang datanya mudah didapat dari laporan administratif pemerintah, seperti konstruksi proyek negara dan belanja aparatur.

Sebaliknya, secara signifikan meremehkan (under-represent) dinamika sektor swasta, UMKM, dan sektor informal yang justru sedang berjuang paling keras. Jika ini masalahnya, maka angka 5,12% adalah produk dari sebuah sistem pengukuran yang usang atau cacat, yang menghasilkan potret ekonomi yang terdistorsi, indah di permukaan namun keropos di dalam.

Opsi kedua, yang lebih suram dan menakutkan, adalah adanya intervensi dan manipulasi data yang disengaja. Ini adalah sebuah kemungkinan yang tidak bisa lagi dikesampingkan dalam iklim politik yang penuh tekanan, di mana angka menjadi segalanya.

Angka pertumbuhan ekonomi bukan lagi sekadar statistik; ia adalah rapor politik, komoditas pencitraan, dan justifikasi kebijakan.

Ketika sebuah rezim menempatkan legitimasi dan citra keberhasilannya pada angka-angka tertentu, maka independensi lembaga statistik seperti BPS berada di bawah ancaman terbesar.

Pertanyaan mengenai adanya "pesanan" atau intervensi untuk "memoles" data agar terlihat baik menjadi sebuah keniscayaan. Kita tidak perlu bukti adanya telepon langsung dari Istana ke kantor BPS.

Tekanan bisa datang secara halus melalui alokasi anggaran, pemilihan pimpinan, atau sekadar "pemahaman" tak tertulis bahwa data yang "baik" akan membuat semua pihak senang.

Angka yang melenceng jauh dari semua perkiraan bisa menjadi indikasi adanya upaya sistematis untuk merekayasa realita demi kepentingan politik sesaat, dengan mengorbankan kebenaran dan kredibilitas jangka panjang.

Jalan Keluar: Audit Independen Sebagai Keniscayaan

Pada titik ini, perdebatan bukan lagi sekadar soal angka. Ini adalah soal kepercayaan, pilar utama yang menopang hubungan antara negara dan warganya. Ketika pilar itu retak, seluruh bangunan terancam rubuh.

Sekadar klarifikasi atau penjelasan teknis dari BPS tidak akan lagi cukup untuk memulihkan kepercayaan yang telah terkikis. Satu-satunya jalan keluar yang kredibel dari labirin ketidakpercayaan ini adalah melalui sebuah Audit Metodologi Komprehensif dan Independen terhadap BPS. Ini bukan untuk menghukum, tetapi untuk menyembuhkan.

Audit ini harus dijalankan oleh sebuah tim yang tidak memiliki konflik kepentingan, terdiri dari para ahli statistik terkemuka dari universitas dalam dan luar negeri, ekonom independen, praktisi data, serta peninjau dari lembaga statistik internasional seperti Divisi Statistik PBB atau mitra pembangunan lainnya. Mandat audit ini harus jelas dan prosesnya harus transparan.

Tim audit harus diberi akses penuh untuk memeriksa setiap jengkal proses kerja BPS: mulai dari desain kuesioner, metodologi penarikan sampel, proses survei lapangan, teknik imputasi data yang hilang, sistem pembobotan, hingga proses agregasi menjadi angka PDB final.

Lebih dari itu, audit juga harus menelaah struktur tata kelola dan mekanisme perlindungan institusional yang menjamin independensi BPS dari tekanan politik.

Hanya melalui keterbukaan radikal dan verifikasi oleh pihak ketiga yang tak terbantahkan, kita bisa mengetahui dengan pasti apakah "speedometer" kita hanya perlu dikalibrasi ulang atau memang ada yang sengaja merusaknya.

Hasil audit ini harus dipublikasikan secara utuh kepada publik. Jika ditemukan kelemahan, maka harus ada peta jalan reformasi yang jelas. Jika ditemukan adanya intervensi, maka harus ada akuntabilitas Dengan demikian, angka 5,12% ini, betapapun janggalnya, bisa menjadi sebuah momentum berharga.

Momentum untuk berhenti sejenak dan memeriksa secara jujur fondasi data yang menjadi dasar kita membangun bangsa. 

“Kita tidak boleh membiarkan pilar utama kebijakan kita dibangun di atas fondasi data yang rapuh dan diragukan,” tambah Achmad.

Mengembalikan kepercayaan pada data adalah langkah pertama dan paling krusial untuk mengembalikan kepercayaan pada masa depan ekonomi Indonesia. (*)
 

Prev Article
Prabowo: Produksi Pangan Nasional Aman dan Kuat!
Next Article
The Rise of AI-Powered Personal Assistants: How They Manage

Related to this topic: