Search

Saved articles

You have not yet added any article to your bookmarks!

Browse articles

“Whoosh” Laju Cepat, Beban Berat: Kupas Tuntas Drama di Balik Kereta Cepat Indonesia

16 October 2025

Bisnis Daily, PONTIANAK - Di balik suara “whoosh” yang meluncur cepat dari Stasiun Halim menuju Tegalluar, ada kisah panjang yang nggak kalah berisik dari raungan mesinnya.

Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau yang lebih dikenal dengan nama Whoosh, memang menjadi salah satu proyek paling ambisius dalam sejarah transportasi Indonesia. Sejak diresmikan Presiden Joko Widodo pada 2 Oktober 2023, kereta ini digadang-gadang jadi simbol kemajuan negeri — penghubung dua kota besar hanya dalam waktu 36 menit.

Namun, di balik kecanggihannya, ada cerita lain yang tak kalah menarik: soal utang besar, biaya yang membengkak, dan debat hangat di ruang kabinet soal siapa sebenarnya yang harus menanggung bebannya.

Canggihnya Kereta yang Siap Ngebut

Dengan kecepatan maksimal 350 km per jam, Whoosh menggunakan teknologi CR400AF buatan China — jenis kereta yang juga dipakai di jalur cepat Beijing–Shanghai. Kereta ini dilengkapi sistem kontrol digital, tahan gempa, dan hemat energi.

Interior-nya pun nggak main-main: kursi empuk, layar informasi digital, colokan USB di tiap kursi, sampai WiFi gratis. Rasanya lebih mirip pesawat kelas bisnis ketimbang transportasi darat.

Banyak warga yang sudah menjajal Whoosh bilang rasanya “nggak kayak di Indonesia.” Bayangkan, dari Halim ke Padalarang cuma 30–40 menit. Lebih cepat daripada antre di rest area kalau lewat tol 

Tapi di Balik Lajunya, Ada Beban Berat

Proyek ini menelan biaya hingga USD 7,3 miliar atau sekitar Rp 118 triliun — naik cukup jauh dari perkiraan awal USD 6,07 miliar. Dana itu sebagian besar berasal dari pinjaman China Development Bank (CDB) dan kontribusi konsorsium PT KCIC, gabungan antara BUMN Indonesia dan perusahaan Tiongkok.

Nah, di sinilah letak drama dimulai. Ketika beban utang membengkak dan bunga pinjaman menumpuk, muncul wacana agar APBN ikut membantu pembayaran. Tapi, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa langsung menegaskan, “Jangan pakai APBN buat bayar, ya lucu aja!”

Menurutnya, proyek ini sudah dikelola oleh lembaga khusus seperti Danantara (Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara) yang punya pemasukan besar dari dividen BUMN. 

“Dana di situ bisa dipakai buat menopang proyek strategis kayak Whoosh, tanpa harus ganggu uang rakyat,” ujarnya santai, tapi dengan pesan yang jelas.

Antara Harapan dan Kekhawatiran

Bagi pemerintah, Whoosh bukan cuma transportasi cepat, tapi juga simbol era baru konektivitas nasional. Rute Jakarta–Bandung dianggap sebagai “uji coba” menuju ambisi yang lebih besar: kereta cepat Jakarta–Surabaya di masa depan.

Namun di sisi lain, ekonom dan pengamat transportasi masih menyoroti persoalan klasik: apakah proyek ini benar-benar menguntungkan?

Tingkat keterisian penumpang memang meningkat di masa liburan, tapi belum sepenuhnya stabil untuk menutup biaya operasional dan cicilan utang. Pemerintah pun tengah mencari skema baru, mulai dari integrasi transportasi di sekitar stasiun hingga kerja sama komersial jangka panjang dengan swasta.

Kereta cepat Whoosh memang sudah ngebut di relnya, tapi perjalanannya masih jauh dari kata selesai. Proyek ini jadi gambaran nyata bahwa membangun masa depan nggak selalu semulus lintasan baja — ada tikungan tajam berupa utang, tekanan politik, dan tantangan bisnis yang harus dilewati dengan cermat.

Kalau sukses, Whoosh bisa jadi ikon kebanggaan Indonesia, bukti bahwa negeri ini mampu membangun teknologi kelas dunia dengan manajemen keuangan yang matang. Tapi kalau gagal dikelola, bukan tidak mungkin, “Whoosh” bisa berubah jadi “Whoops!” — karena kecepatannya justru meninggalkan masalah di belakang.

Satu hal pasti: Whoosh telah membuka babak baru perjalanan Indonesia menuju era transportasi cepat. Tinggal bagaimana pemerintah dan masyarakat bisa menjaga lajunya tetap stabil — bukan cuma di rel, tapi juga di laporan keuangan negara. (*)

Prev Article
Purbaya Tegas: “Utang Kereta Cepat Jangan Sentuh APBN, Ya Lucu Aja!”
Next Article
The Rise of AI-Powered Personal Assistants: How They Manage

Related to this topic: