Search

Saved articles

You have not yet added any article to your bookmarks!

Browse articles

Subiakto Priosoedarsono: Bapak Branding Indonesia yang Tak Pernah Lelah Mendidik UMKM Naik Kelas

26 July 2025

PONTIANAK, bisnisdaily.com - Di balik sederet iklan legendaris di layar kaca Indonesia, ada satu nama yang mungkin tak banyak dikenal publik luas, tapi jasanya tak ternilai. Dialah Subiakto Priosoedarsono, atau yang akrab disapa Pak Bi. Baginya, branding adalah seni memengaruhi pikiran dan menggerakkan hati, bukan hanya sebatas brand semata.

Pak Bi lahir di Jakarta pada 18 Mei 1947. Di usia senjanya, ia masih memupuk semangat berbagi ilmu ke mana-mana. Rambutnya memutih, langkahnya kadang pelan, tapi semangatnya tak pernah surut. Ia tetap berdiri di depan forum, mengajarkan branding kepada siapa saja yang mau belajar.

Pendidikan formalnya di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) membentuk Pak Bi jadi sosok kreatif. Kariernya di dunia iklan dimulai sejak era 70-an, ketika iklan televisi baru merangkak. Ia masuk ke agensi besar, merintis dari copywriter hingga creative director.

Tak terhitung sudah berapa kampanye besar yang pernah ia rancang. Salah satu yang paling ikonik tentu saja “Ada Aqua?”. Slogan sederhana itu menjadikan Aqua identik dengan air minum kemasan, sebuah bukti bahwa branding yang tepat bisa mengubah persepsi pasar.

Selain Aqua, ada juga Kacang Dua Kelinci, Telkomsel Kartu Halo, Indomie, hingga brand-brand besar lain yang slogan dan kampanyenya lahir dari tangan dingin Pak Bi. Satu persatu merek-merek itu menempel di kepala masyarakat, menempati sudut rak belanja jutaan orang.

Pak Bi selalu menekankan bahwa branding bukan sekadar desain logo atau kemasan menarik. Branding adalah janji, reputasi, dan persepsi. “Logo bisa ditiru, tapi persepsi di kepala orang nggak bisa dicuri,” kata Pak Bi suatu kali dalam workshop-nya.

Di era digital, Pak Bi pun tak mau kalah. Ia aktif di YouTube, Instagram, dan berbagai platform lain. Dengan gayanya yang khas dan cukup santai, ceplas-ceplos, kadang disisipi humor nakal, Ia meracik materi branding agar gampang dicerna UMKM.

Ia pernah berkata, “Saya ingin mati dalam keadaan bicara. Selama lidah saya bisa digerakkan, saya akan terus bicara soal branding.” Kalimat sederhana itu menggambarkan semangat hidupnya: menularkan ilmu sebanyak mungkin.

Banyak orang mengenal branding sebagai ilmu ‘mahal’ yang hanya bisa diterapkan korporasi besar. Pak Bi membantah itu. Lewat workshop Magnet Branding yang rutin digelarnya, ia membuktikan bahwa usaha mikro pun layak punya brand kuat.

Di sesi workshop, Pak Bi kerap memecah suasana dengan candaan. Namun di balik kelakar itu, selalu ada pelajaran mendalam. Ia mengajarkan pentingnya positioning, riset pasar, dan pemahaman perilaku konsumen yang jadi pondasi yang sering dilupakan pebisnis pemula.

Menurut Pak Bi, UMKM harus berani tampil beda. Kalau produk sama, maka nilai tambahnya harus muncul dari cerita di baliknya. “Orang beli bukan cuma barangnya, tapi juga ceritanya,” ucapnya. Baginya, storytelling adalah senjata ampuh branding.

Ia juga memperkenalkan konsep Bowling Marketing dan Pinball Marketing. Dulu, pemasaran ibarat bowling: dilempar sekali, target langsung jatuh. Sekarang, era digital membuat pemasaran jadi pinball: harus lincah, responsif, terus memantul menyesuaikan perilaku konsumen.

Dalam berbagai forum, Pak Bi sering mengingatkan: di zaman internet, review, testimoni, dan rating punya nilai besar. Konsumen zaman sekarang makin kritis. Mereka percaya cerita orang lain lebih dari sekadar klaim iklan.

Pak Bi juga menyoroti pentingnya menjaga janji brand. Kalau sudah berjanji, harus ditepati. Sebab reputasi dibangun dari kepercayaan. Sekali konsumen kecewa, akan sulit menarik mereka kembali.

Tidak sedikit UMKM yang dulunya biasa saja, kini melejit setelah belajar langsung dari Pak Bi. Dari penjual bakso, kopi kemasan, hingga produk kerajinan. Pak Bi membantu mereka merumuskan strategi sederhana tapi membumi.

Di luar panggung branding, Pak Bi adalah sosok guru sekaligus teman diskusi. Banyak praktisi komunikasi, anak agency, hingga content creator muda yang belajar padanya. Ia dikenal terbuka, tak segan membongkar ilmu yang ia kumpulkan selama puluhan tahun.

Bagi Pak Bi, berbagi adalah cara terbaik merawat mimpi. Ia percaya Indonesia akan lebih kuat jika merek-merek lokal berani naik kelas. 

“Kita ini kaya. Produk kita bagus-bagus. Tinggal cara kemasnya, cara ceritanya, itu yang harus diracik dengan cerdas,” katanya.

Di usia 70-an, Pak Bi memang tak lagi berdiri di balik layar iklan raksasa. Namun kontribusinya justru semakin nyata. Ia hadir di ruang-ruang kecil, mendampingi UMKM bermodal pas-pasan yang ingin mimpinya terwujud.

Lewat suara Pak Bi, para pemilik usaha kecil diajak percaya diri. Bahwa merek bukan sekadar nama tempelan di kemasan. Merek adalah nyawa usaha, tiket agar produk punya nilai lebih. Di tangan Pak Bi, branding selalu punya tempat di hati siapa pun yang mau belajar. (*)

 

Prev Article
Belajar dari Pak Bi: Cara Sederhana Bikin Brand UMKM Makin Dikenal
Next Article
The Rise of AI-Powered Personal Assistants: How They Manage

Related to this topic: